http://islamidia.com/wp-content/uploads/2017/09/Kenapa-Sila-Pertama-Dalam-Pancasila-Ketuhanan-yang-Maha-Esa-Ini-Penjelasannya.jpg |
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan penekanan bahwa setiap warga negara Indonesia harus mengakui adanya Tuhan, sesuai dengan konsep ketuhanan dalam setiap agama. Kita memiliki kebebasan penuh untuk menyembah Tuhan kita masing-masing dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dalam agamanya masing-masing.
Dalam UUD’45 pasal 29, disebutkan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2).
Sila ini menjelaskan bahwa negara Indonesia mengakui adanya berbagai agama dan setiap agama mendapat perlakuan yang sama dari negara. Selain itu, juga merepresentasikan bahwa negara kita bukanlah negara sekuler dan negara agama. Negara kita bukanlah negara yang memisahkan pemerintahan dengan agama dan juga bukan negara yang hanya mengikat satu sistem agama. Sebagai negara yang tingkat ke-bhinnekaan-nya sangat tinggi, Indonesia hendaknya mengambil jarak yang sama dengan dan melindungi semua agama/kepercayaan.
Ir. Soekarno, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, menyatakan “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan”.
Setiap aktivitas yang dilakukan setiap warga negara, termasuk dalam berpolitik, hendaknya dipandu oleh nilai-nilai dan moral ketuhanan, yang dapat menciptakan simbiosis mutualisme antar sesama warga negara. Dengan wawasan yang berdimensi transendental, kita dituntut untuk pandai menjangkarkan kepentingan kepada nilai dalam politik.
Dalam sila ini, kita bukan hanya berbicara tentang dimensi Ketuhanan/teosentris/sakralisasi, tetapi juga toleransi dan kerukunan setiap warga negara dalam beragama. Dalam konteks budaya, tradisi, dan agama, toleransi adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Masalah negara kita kini berkaitan dengan toleransi.
Pertanyaannya adalah apakah sikap toleransi antar umat beragama sudah sepenuhnya dilaksanakan? Sekadar refleksi, sudah banyak kasus-kasus intoleran yang terjadi di Indonesia. Sebut saja pembakaran vihara di Tanjung Balai, pembakaran Masjid di Tolikara, pembubaran KKR di Bandung, pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, Pembunuhan ulama di Jawa Barat, persekusi biksu di Tangerang, dan penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina di Yogyakarta. Kejadian tersebut sungguh memprihatinkan. Tidak adanya rasa kerukunan dalam beragama bisa membahayakan negara dan memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa.
Sepanjang tahun 2017, SETARA Institute mencatat ada 151 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan 201 bentuk tindakan yang tersebar di 26 provinsi. Jawa Barat merupakan provinsi dimana pelanggaran KBB banyak terjadi.
Selain itu, di media sosial, kebencian, fitnah, dan nada saling menghujat semakin merajalela. Media sosial digunakan untuk saling serang-menyerang. Setiap warga Indonesia hendaknya membangkitkan kesadaran untuk menciptakan rasa kerukunan antar sesama dan perdamaian di lingkungannya.
Inilah semua esensi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan hanya percaya pada Tuhan saja, tetapi juga bersikap toleran, saling hormat-menghormati, menghargai perbedaan, peduli antar sesama, dan menyingkirkan ‘egoisme-agama’.
Baca juga: Toleransi dan Fanatisme Agama
0 Comments