Toleransi dan Fanatisme Agama

Toleransi dalam Beragama

Pelangi di langit terlihat sangat indah karena terdiri dari berbagai macam warna yaitu warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu yang tersusun melingkar dan sejajar. Jika kita melihat proses terjadinya pelangi, warna-warna pelangi tersebut tidak muncul begitu saja. Warna-warna tersebut terbentuk dari cahaya matahari yang merupakan cahaya polikromatik/cahaya putih yang mengalami pembiasan melalui butir-butir hujan. Beragam warna pelangi tersebut hanya bisa terbentuk dari satu warna yaitu warna putih. Pelangi merupakan salah satu fenomena alam yang menggambarkan kebhinnekaan di langit dan persatuan antara warna-warna tersebut. Warna-warna pelangi tidak menutupi satu sama lain dan tampak berdampingan yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu sama-sama berasal dari warna putih.

Keberagaman di Indonesia

Diibaratkan sebagai pelangi, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki tingkat keberagaman yang tinggi, memiliki penduduk dengan latar belakang suku, ras, dan agama yang berbeda-beda.

Berdasarkan data sensus penduduk BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010, Indonesia mempunyai jumlah penduduk sebanyak 237.641.326 jiwa dengan 1.340 suku bangsa dan 1.158 bahasa daerah. Suku bangsa yang mempunyai penduduk terbesar adalah suku Jawa dengan persentase 40,2% disusul oleh suku Sunda (15,5%), suku Batak (3,58%), hingga suku Tionghoa (1,2%), suku Makassar (1,13%), dan suku Cirebon (0,79%).

Dari latar belakang agama, pemerintah Indonesia hanya mengakui 6 agama yakni Islam dengan jumlah penganut terbesar (87,18%), Kristen (6,96%), Katolik (2,9%), Hindu (1,69%), Buddha (0,72%), Kong Hu Cu (0,13%), dan sisanya adalah penganut agama lain (Yahudi, Baha’I) maupun jumlah penduduk yang tidak terdata agamanya.

Ini menunjukkan betapa beragamnya masyarakat Indonesia, betapa beragamnya tradisi dan budaya yang ada di Indonesia yang justru menjadi keunikan bagi bangsa kita. Meskipun suku Jawa dan umat Islam adalah penduduk mayoritas, Indonesia tetap memiliki visi untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, memelihara rasa kebersamaan tanpa membedakan-bedakan suku, ras, dan agama maupun antara mayoritas dan minoritas.

4 Pilar Kebangsaan Indonesia

Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, persatuan dalam perbedaan (Unity in Diversity). Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, dan pedoman hidup bangsa. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, merdeka, dan berkeadilan. UUD 1945 (Undang-Undang Dasar) sebagai landasan konstitusional negara. Keempat hal di atas merupakan pilar-pilar yang mendukung berdirikokohnya negara kita dan harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia.

Toleransi

Sudah banyak sekali kasus-kasus intoleransi menyangkut isu SARA yang terjadi. Sebut saja pembakaran vihara di Tanjung Balai, pembakaran Masjid di Tolikara, pembubaran KKR di Bandung, pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, Pembunuhan ulama di Jawa Barat, persekusi biksu di Tangerang, dan penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina di Yogyakarta. Kejadian-kejadian tersebut sungguh memprihatinkan, memunculkan ketakutan bagi masyarakat, berpotensi memecahbelah persatuan dan kesatuan NKRI, dan melunturkan jiwa “Bhinneka Tunggal Ika” di dalam diri warga Indonesia.

Sepanjang tahun 2017, SETARA Institute mencatat ada 151 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan 201 bentuk tindakan yang tersebar di 26 provinsi. Jawa Barat merupakan provinsi dimana pelanggaran KBB banyak terjadi. Ini menunjukkan bahwa “virus” toleransi masih belum menular ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Gesekan dan tensi antar kelompok dalam hal keagamaan masih saja terjadi.

Berbagai sentimen muncul, terutama di dunia maya, nada-nada ujaran kebencian dan fitnah mencuat dari jari-jari tangan yang tidak terkontrol. Paham-paham radikalisme yang bersifat kekerasan juga semakin muncul ke permukaan. Empat pilar kebangsaan kita mulai kehilangan arah dan jauh dari tujuannya.

Semua orang pasti menginginkan perdamaian di dalam batin maupun lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, keinginan untuk mewujudkan perdamaian sering kali dimusnahkan oleh ego-ego orang yang hanya berjuang untuk kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat. Disinilah letak permasalahannya. Mungkin masih ada orang yang belum memahami makna toleransi dan dampaknya. Mereka mungkin belum bisa membayangkan betapa indahnya “pelangi” jika sikap toleransi sepenuhnya diterapkan pada jati diri setiap warga negara.

Dalam konteks tradisi, budaya, dan agama, toleransi adalah suatu sikap yang membiarkan orang lain untuk melakukan sesuatu hal yang tidak berkenan dengan kita dan membiarkan orang lain untuk berpendapat lain dari kita. Toleransi mencerminkan suatu sikap menghormati/menghargai keberadaan suatu budaya atau kepercayaan yang berbeda dengan kita dan menolak diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Sikap inilah yang dapat menciptakan atmosfer keberagaman yang indah pada suatu negara.

Fanatisme Agama

Ada faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi cenderung intoleran, terutama dalam hal beragama. Satu-satunya faktor yang saya perhatikan adalah fanatisme agama. Fanatisme adalah paham yang menunjukkan ketertarikan atau kemelekatan seseorang terhadap sesuatu secara berlebihan.

Seseorang yang fanatik memiliki pola pikir yang keras, merasa dirinya paling benar, dan hampir tidak mau mendengar pendapat-pendapat dari orang lain yang dianggap bertentangan. Orang yang fanatik terhadap agamanya mempunyai pola pikir yang tidak bijak, cenderung menganggap agamanya-lah yang paling benar dan agama lain itu tidak benar. Orang lain di luar agamanya dianggap sesat dan tidak akan mendapat keselamatan. Pemikiran seperti ini sungguhlah dangkal dan berbahaya karena tidak disikapi dengan kebijaksanaan. Pemikiran ini juga dapat mengubah pandangan hidup seseorang terhadap agamanya. Agama yang sesungguhnya membuat orang menjadi lebih baik dapat saja disalahgunakan oleh orang yang fanatik kepadanya.

Berbeda dengan orang yang tidak fanatik, orang yang tidak fanatik akan menggunakan agamanya sebagai pedoman dan motivasi hidup untuk menjadi orang yang memiliki moral dan etika. Orang yang fanatik bisa saja mengubah cara pandang hidupnya ke arah “hidup untuk agama” daripada “agama untuk hidup”. “Hidup untuk agama” adalah cara pandang hidup yang salah dimana keseluruhan hidup seseorang hanya demi agama, bukan untuk hal lain seperti pembangunan karakter diri bangsa, dan perdamaian masyarakat.

Apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan dengan agamanya, orang tersebut bisa saja membenarkan segala cara untuk menyingkirkan hal-hal tersebut, berjuang mati-matian demi agama, bahkan bisa membunuh orang demi agama. Pandangan “hidup untuk agama” ini membuat orang yang fanatik malah menurun atau tidak ada lagi moral dan etikanya.

Perlu diingat juga bahwa fanatisme agama adalah bibit tumbuhnya gerakan-gerakan radikalisme yang bersifat kekerasan. Fanatisme agama juga bisa menumbuhkan ego seseorang. Orang yang fanatik cenderung mengurung dirinya ke dalam ritual-ritual agama dan tidak peduli masalah-masalah yang ada disekitarnya. Mereka tidak peduli dengan penderitaan yang ada di luar sana. Meskipun orang tersebut bisa dibilang religius, tetapi sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu.

Orang yang dalam aktivitas sehari-harinya membantu masyarakat yang tidak mampu, menyelesaikan masalah-masalah sosial di sekitarnya, mendamaikan suasana lingkungannya, melakukan perbuatan bajik, menurut saya, malah lebih religius.

Paham fanatisme terhadap agama sangatlah berdampak buruk, baik bagi batin seseorang maupun orang lain. Sikap yang tidak ditopang oleh kebijaksanaan ini justru dapat menurunkan moral dan etika seseorang serta membuat orang berbuat apa aja demi agama. Maka dari itu, setiap orang harus bijak dalam mempelajari agama dan tidak tenggelam ke dalam paham fanatisme ini. Semakin fanatik seseorang terhadap agamanya, semakin menurun sikap toleransi orang tersebut untuk hidup dalam masyarakat yang beragam ini.

Peristiwa Toleransi

Peristiwa di Gereja Eben Haezer, Mojokerto pada tahun 2000 dimana seorang Banser NU (Nahdlatul Ulama) berusia 25 tahun yang bernama Riyanto yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan jemaat-jemaat yang sedang beribadah di dalam Gereja mengajarkan kita apa itu toleransi. Riyanto menemukan sebuah bom di dalam Gereja dan dengan segera membawa bom tersebut keluar dari Gereja. Akan tetapi, sungguh disayangkan, bom tersebut meledak lebih dulu sebelum terlepas dari genggaman pemuda tersebut. Potongan-potongan tubuh pemuda tersebut berceceran hingga 100 meter dari pusat ledakan.

Kisah yang sudah melegenda di seluruh Indonesia ini mengajarkan kita bahwa sudah seharusnya kita sebagai manusia membantu satu sama lain tanpa membeda-bedakan. Bahkan, nama Riyanto digunakan sebagai nama jalan di Mojokerto dan nama beasiswa oleh Wahid Institute sebagai bentuk penghormatan.


Ada sebuah kutipan dari Dalai Lama,
Saya adalah orang Tibet, saya adalah seorang Buddhis, saya adalah Dalai Lama. Akan tetapi, jika saya menekan perbedaan-perbedaan ini, itu memisah saya dan membuat rintangan dengan orang lain. Hal yang perlu kita lakukan adalah lebih memperhatikan cara pandang dimana kita adalah sama dengan orang lain.
Kutipan ini memiliki makna bahwa kita semua adalah sama yaitu manusia, yang hanya membedakan kita dengan hewan dan tumbuhan. Itu saja. Jika kita lebih menekan identitas-identitas kita seperti suku, ras, dan agama kita, tidak menutup kemungkinan berbagai rintangan akan memisahkan kita dengan kelompok lain dan mengkotak-kotakkan suatu masyarakat.

Keberagaman yang ada di Indonesia sekarang ini haruslah kita jaga bersama-sama karena keberagaman sendiri juga sudah ada pada masa lalu, pada masa perjuangan para pahlawan kita untuk mengusir penjajah dan mencapai kemerdakaan. Mereka bersatu demi satu tujuan meskipun mereka berasal dari latar belakang suku, ras, dan agama yang berbeda.

Toleransi adalah bibit untuk menumbuhkan rasa kebhinnekaan yang harum di negara tercinta kita ini. Sangat sia-sia dan percuma jika bangsa kita beragam-ragam tetapi di dalamnya tidak ada kerukunan antar sesama. Bangkitkanlah rasa toleransi di mana pun anda berada. Jika toleransi diamalkan oleh setiap warga negara, bisa dipastikan masa depan kebhinnekaan Indonesia menjadi lebih cerah dan visi misi bangsa kita terwujud nyata.

Junjunglah 4 pilar kebangsaan kita (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945). Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang “polikromatik”, bangsa yang hanya memiliki satu warna tetapi jika “dibiaskan”, di dalamnya terdapat beragam-ragam warna yang tidak menganggu satu sama lain, yang menjunjung tinggi toleransi.

0 Comments