Pembajakan Buku, Bentuk Krisis Moral dan Matinya Literasi

Pembajakan Buku, Bentuk Krisis Moral dan Matinya Literasi

Pembajakan buku serasa bukanlah masalah yang serius di Indonesia. Sangat jarang ada berita razia pembajakan buku dimana pelakunya diproses secara hukum. Berita yang paling banyak hanyalah razia buku-buku yang melanggar aturan atau ideologi negara.

Padahal, pembajakan apapun itu, baik buku, musik, film, software, sangat merugikan bagi si creator. Dalam hal ini, pembajakan buku membuat tidak adanya royalti yang mengalir ke kantong penulis.

Menulis buku bukanlah pekerjaan yang mudah. Bukan hanya tangan yang mengetik, penulis buku juga harus menghabiskan energi untuk berpikir, mencari referensi, mendapatkan inspirasi, dan mengeluarkan ide-idenya.

Menulis buku juga bukan perkara sehari atau seminggu. Penulis bisa saja membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikan sebuah buku.

Kebetulan saya sedang membaca sebuah buku pengembangan diri karya Richard Wiseman. Judulnya adalah Lupakan Berpikir Positif, Saatnya Bertindak Positif. Buku itu memiliki 393 halaman.

Yang mengejutkan saya adalah daftar pustaka buku itu yang berisi lebih dari 200 butir referensi. Bahkan, satu butir referensi saja bisa dibahas sampai berhalaman-halaman. Banyak sekali penelitian psikologi yang penulis kumpulkan lalu gabungkan narasi-narasinya menjadi sebuah buku.

Saya pun berpikir, berapa lama dia selesai menulis bukunya itu?

Coba bayangkan. Posisikan diri kita sebagai seorang penulis buku. Bagaimana rasanya buku yang sudah susah payah kita tulis, ternyata dibajak begitu saja? Mungkin kita merasakan kepuasan batin karena sudah menyelesaikan karya yang luar biasa.

Namun, bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari kita? Kita juga perlu penghasilan dari karya kita untuk hidup.

Itu hanya tentang penulis. Penerbit yang menjadi ujung tombak pemasaran buku penulis juga dirugikan. Selain biaya percetakan dan royalti penulis, penerbit juga perlu membayar biaya editor, penerjemah, desainer sampul dan isi, pengatur tata letak, operator mesin cetak, dan lain-lain.

Jadi, jelas, pembajakan buku sangat merugikan banyak pihak. Di sisi lain, para pembajak buku dengan senang mendulang harta dari aksinya.

Membajak Buku Mencerminkan Krisis Moral

Saya sendiri selalu mengartikan pembajakan sebagai bentuk pencurian dan mencuri adalah salah satu bentuk krisis moral.

Buku

Pembajak buku tinggal membeli 1-2 buku asli kemudian menggandakannya. Saya tidak tau apa yang ada di pikiran pembajak. Apa dia memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya itu sah-sah saja? Gapapa lah, yang penting bisa jadi pengusaha dan dapat duit banyak.

Yang jelas, itulah krisis moral, melakukan pembenaran terhadap kesalahan dan mengabaikan kebenaran.

Tidak perlu memakai alasan bahwa penulisnya adalah orang kaya atau penerbitnya adalah perusahaan besar. Alasan “meningkatkan minat baca” dengan menjual buku bajakan yang harganya lebih murah juga tidak pantas dibenarkan.

Mengutip dari tirto.id, para pembajak buku sudah “merampok” 397 miliar rupiah pada tahun 2006. Buku Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko yang harga aslinya Rp195 ribu, dibajak dan dijual dengan harga Rp30 ribu. Sangat miris memang!

Matinya Literasi Akibat Pembajakan Buku

Adanya fenomena pembajakan buku, akan membuat orang menjadi takut atau ragu untuk berkarya. Penulis yang bukunya dibajak bisa saja enggan untuk menulis buku lagi. Begitu juga dengan orang-orang yang ingin mulai menulis buku. Mereka takut bukunya akan dibajak.

Hal inilah yang akan mematikan budaya literasi di Indonesia. Tidak ada karya yang disalurkan, maka tidak ada pengetahuan yang diterima oleh orang lain.

Meskipun buku bajakan membuat orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat membelinya, pembajakan buku tetap tidak bisa dibenarkan.

Budaya Literasi di Indonesia

Jika kita memang ingin memudahkan orang-orang yang tidak mampu untuk mengakses buku, kenapa tidak mendirikan perpustakaan kecil atau taman baca? Kita bisa pasok buku-buku original yang bisa dibaca oleh semua orang. Masyarakat dapat membaca dan penulis atau penerbit tidak dirugikan.

Pembajakan buku tidak membuat adanya simbiosis mutualisme. Dalam hal ini, terjadi berat sebelah, tidak ada keseimbangan.

Cara Melawan Pembajakan Buku

Di bawah ini, saya membagikan beberapa tips untuk melawan pembajakan buku yang bisa kalian coba.

Jangan membeli buku bajakan

Berikut ini adalah ciri-ciri buku bajakan:

  1. Harganya sangat murah. Browsing di internet dulu untuk mencari harga asli rata-rata buku yang ingin dibeli.
  2. Memakai bahan kertas koran atau buram. Coba lihat halamannya, biasanya buku bajakan juga ada garis-garis hitam bekas fotokopi.
  3. Di beberapa halaman, cetakan tulisan bukunya miring.
  4. Sampul tidak bagus atau pucat. Judul dan penulis bukunya tidak dicetak timbul.
  5. Tidak dibungkus (wrapping).

Belanja di toko buku terkemuka

Supaya kita tidak membeli buku bajakan, baik secara sadar ataupun tidak, beli-lah buku hanya di toko-toko buku yang terkenal seperti Gramedia, Mizan Store, atau dari penerbitnya langsung.

Mizan Store | mizanstore.com

Mau buku murah? Pantau terus promo dari toko buku

Toko-toko buku terkemuka biasanya menawarkan diskon atau flash sale di website-nya. Jadi, rajin-rajinlah untuk memantau promo-promo dari mereka. Manfaatkan momen tersebut untuk mendapatkan buku murah.

Kalau kalian malas memantau, kalian bisa berlangganan newsletter dari website mereka. Jadi, kalau ada promo-promo tertentu, informasi itu akan terkirim ke email kalian.

Saya sendiri sudah pernah membeli 3 buku dari Mizan Store dengan total harga hanya Rp90.000. Harga setiap buku sangat murah, hanya Rp30.000 berkat adanya diskon besar-besaran. Meskipun murah, tapi bukunya tetap original.

Beli e-book pun jadi, lebih murah

Sebenarnya, internet juga merupakan sarang pembajakan buku. File-file PDF berbagai buku berserakan di mana-mana dan orang tinggal klik untuk men-download-nya.

Kita bisa cek dulu apa file PDF buku yang tersebar itu memang aslinya gratis atau dibajak. Kalau bukunya berbayar, tapi ada file PDF yang dapat di-download, itu berarti bukunya sudah dibajak. Men-download file PDF buku juga termasuk pembajakan.

Untuk menghindari buku bajakan sekaligus membeli buku yang harganya murah, kita juga bisa membeli buku versi digital alias e-book. Salah satu toko e-book yang saya rekomendasikan adalah Google Play Books.

Google Play Books
Google Play Books

Uniknya, e-book yang ada di Google Play Books tidak mudah dibajak. Setelah kita beli, kita bisa membaca bukunya langsung di sana. Kita juga bisa men-download bukunya tetapi tidak langsung dalam format PDF/EPUB melainkan format ASCM.

File ASCM ini harus dibuka dengan software Adobe Digital Edition dan kita harus login dengan akun Adobe untuk dapat membaca bukunya. Hal ini karena e-book dari Google Play Books sudah memiliki DRM (Digital Right Management). Jadi, peluang terjadinya pembajakan buku pun semakin kecil.

Meminjam buku

Kalau kita tidak sanggup membeli buku, kenapa tidak meminjam buku dari teman atau perpustakaan saja? Hal ini lebih baik daripada membeli buku bajakan.

Selain itu, sekarang sudah ada aplikasi iPusnas atau perpustakaan digital yang menyediakan berbagai macam e-book untuk dibaca secara gratis.

Laporkan pelaku pembajakan buku

Polisi seharusnya lebih gencar untuk sering melakukan razia pembajakan buku, tidak hanya me-razia buku-buku yang melanggar aturan.

Penulis dan penerbit juga harus berani melaporkan kasus pembajakan buku ini. Seperti yang dilakukan oleh Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) yang terdiri dari 12 penerbit, mereka melaporkan buku-buku bajakan yang dijual di Shopping Center Yogyakarta.

Sebagai masyarakat, kita juga bisa turut membantu mengadukan toko-toko yang menjual buku bajakan kepada pihak berwenang seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan polisi.

Cara Melaporkan Pembajakan Hak Cipta ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
bekraf.go.id

Pembajakan buku sebenarnya sudah diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, pelanggar hak cipta akan mendapatkan hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah.

Itulah 6 tips yang bisa saya bagikan untuk melawan pembajakan buku. Apakah ada tambahan? Tulis di kolom komentar di bawah ya.

Kesimpulan

Pembajakan apapun, termasuk buku, tidak boleh dibenarkan dengan alasan-alasan apapun. Pembajakan buku membuat penulis dan penerbit merugi, menurunnya kesadaran moral dari para pembajak buku, dan terancamnya budaya literasi di Indonesia.

Kita sendiri bisa membantu melawan pembajakan buku dengan tidak membeli buku bajakan. Ketahui ciri-ciri buku bajakan, hanya beli buku dari toko-toko yang kredibel, memanfaatkan promo/diskon untuk mendapatkan buku murah, membeli e-book, dan meminjam buku.

Terakhir, kita bisa membantu melaporkan toko-toko buku bajakan kepada pihak yang berwenang.

Bagi kalian ingin memiliki usaha toko buku, berhati-hatilah dalam memasok buku. Jangan menjual buku-buku bajakan. Pilih distributor yang terpercaya atau pasok bukunya langsung dari penerbit.

Jadi, sebagai warga negara yang baik, ayo kita sama-sama lawan pembajakan buku di Indonesia!

1 Comments

  1. Ya, apalagi pembajakan ini jadi ladang bisnis bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Creator lelah membuat karya, tapi tidak memperoleh semua yang bisa dihasilkan. Inilah mirisnya Indonesia, selain darurat membaca yang sangat parah

    ReplyDelete